Jumat, 19 September 2008

7 Ibu Bangsa


Penulis: Andri Rahman Ali, Galih Priatmodjo, Hajar Nur Setyowati, Hilman, I Kleruk Mau, Oryza Aditama, Petrik Metanasi, Reni Nuryanti
Penerbit: RahZenBook (2008)
Tebal: 532 halaman
Harga: Rp 150.000
NOTE: Hanya edisi terbatas HARDCOVER dan dilayani jika ada pesanan.


Buku ini berusaha menggambarkan tujuh tokoh wanita dalam sejarah Indonesia. Mereka memiliki keunikannya masing-masing. Cut Nyak Dien tercitra sebagai wanita pemberani dari Aceh yang begitu gigih memerangi militer Hindia Belanda yang berusaha menegakan kolonialisme dan imperialisme modern di tanah Aceh. Meski perlawanannya tertindas, perlawanan heroik Cut Nyak Dien layak menjadi teladan bagi kaum wanita. Seperti prinsip pemberontak Sein Fein di Irlandia, “berjuang dan kalah lebih baik daripada tidak berjuang sama sekali.”

Cut Nyak Dien memang bukan satu-satunya wanita yang ikut berperang melawan Imperialisme dan Kolonialisme Hindia Belanda. Sulawesi Selatan punya Besse Kajuara, Maluku punya Martha Christina Tiahahu, Jawa juga punya Nyi Ageng Serang. Berperang bukan hal mudah. Terlibat dalam peperangan berarti harus menderita. Dalam sejarah, derita peperangan bukan saja didera kaum lelaki, tapi juga wanita. Menghadapi hal semacam itu memang membutuhkan kekuatan. Ini bukti bahwa wanita tidak lemah. Dibalik kelemahannya itu, mereka menyimpan kekuatan.

Cut Nyak Dien mewakili wanita Aceh, maupun seluruh bangsa Indonesia, dalam berperang. Cut Nyak Dien menerapkan tak-tik gerilya terhadap militer Hindia Belanda yang terlatih baik. Tak-tik gerilya Cut Nyak Dien lalu diadaptasi oleh pejuang kemerdekaan RI selama Perang Kemerdekaan, meski tidak sempurna, seperti kata Jenderal Besar Indonesia Abdul Haris Nasution. Sebut saja ia ibu gerilya Indonesia yang berperang sampai tenaga terakhir.

Kartini bukan nama asing bagi wanita Indonesia. Anak SD pun kenal Kartini sebagai pendekarnya kaum wanita Indonesia. Tulisannya dalam Door Duisternis Tot Licht—yang di-Indonesiakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang—mengandung semangat kebangkitan kaum wanita yang menggugah kaum intelektual humanis.

Semua terlahir dari pengalaman Kartini sebagai wanita priyayi yang penuh kekangan. Kartini merasa hidup dalam sangkar emas. Kartini menghendaki kesempatan sama dalam hal mengakses pendidikan yang layak, seperti apa yang diperoleh Kartono—seorang kakak kandung yang begitu mengertinya.

Atas kondisi yang menyiksanya Kartini hanya bisa menulis surat yang kemudian mengugah banyak orang. Kondisi tidak langsung berubah tentunya. Perubahan memang butuh waktu. Bagaimanapun, apa yang ditulis Kartini mampu mempengaruhi pikiran banyak orang hingga orang-orang yang terpengaruh itu bergerak dan tanpa sadar apa yang suarakan Kartini terjuangkan juga. Perlahan apa yang dialami Kartini nyaris tidak lagi dialami oleh wanita-wanita zaman sekarang. Ia adalah ibu penulis Indonesia. Yang mengkonsolidasikan perlawanan individu dan refleksi kemerdekaan dan emansipasi lewat tradisi epistolari.

Roehana Koeddoes tidak lain adalah kakak tiri Syahrir. Wanita ini mampu belajar autodidak. Roehana pada akhirnya mampu menjadi jurnalis sekaligus pendidik. Tulisannya cukup dikenal dan berpengaruh. Koleganya, termasuk suaminya yang jurnalis juga begitu mendukungnya untuk terus menulis.

Sekolah yang dibangun Roehana juga terbilang maju. Barang kerajinan yang dihasilkan sekolahnya juga diminati di pasaran. Dengan sekolah ini juga Roehana telah memajukan kaum wanita. Dimana Roehana berusaha agar para wanita ‘melek huruf’. Hasilnya, wanita yang ikut dalam sekolah itu mampu membaca dan menulis surat dengan suami mereka yang merantau .

Keterbatasan pendidikannya tidak menghalanginya untuk berbagi pada sesama wanita. Gunjingan dari sesama wanita yang iri padanya sangat menghambat sebagian langkahnya. Sebuah gunjingan tidak bertanggungjawab juga menghambat langkahnya untuk pergi ke Eropa. Padahal kepergian Roehana ke Eropa itu bisa menjadi pengalaman berharga di masa depan. Ia adalah ibu bagi jurnalis Indonesia dan sekaligus melibatkan diri secara aktif dalam pendidikan khusus perempuan Indonesia walau dalam batas-batas geografis.

Inggit Garnasih adalah seorang wanita berjuang untuk pria, seperti Inggit telah berjuang begitu banyak atas diri Soekarno dan perjuangannya. Hampir semua kebutuhan Soekarno dipenuhi Inggit. Ironis memang kehidupan Inggit, harusnya sebagai seorang istri seorang Insinyur dirinya bisa hidup nyaman di zaman Hindia Belanda. Tapi Inggit tidak pernah meminta kenyamanan hidup dari suaminya. Apa yang terjadi kemudian, Inggit nyaris tidak merasakan hasil jerih payahnya memperjuangkan Soekarno. Inggit tidak pernah meminta balasan apapun. Apa yang diberikan Soekarno padanya, ketika meninggalkannya untuk menikah lagi, tidak lain dari pada sakit hati yang harus ditanggungnya sebagai wanita terhormat.

Seorang wanita yang pernah memperjuangkannya dengan gigih dan setia, oleh Soekarno itu dicampakannya demi kehidupannya yang cerah di masa depan. Selepas dari Soekarno, Inggit masih bisa menghadapi kehidupan seperti biasa. Seperti sebelum dirinya menikah dengan Soekarno. Inggit mampu bertahan hidup karena dirinya sejak awal memang tipikal wanita pekerja keras. Inggit tidak akan sulit hidupnya tanpa kehadiran Soekarno. Tapi entah seperti apa jika dibayangkan Soekarno tanpa Inggit dalam pengasingan. Bagaimana pun, Inggit dalam hubungannya dengan Soekarno adalah tipe wanita yang memberi dan nyaris tanpa pernah meminta lebih. Balasan dari Soekarno pun Inggit tidak meminta, meski dirinya ditinggalkan Soekarno. Sebagai wanita tangguh dan bermental baja, Inggit mampu menjadi dirinya.

Inggit tidak berada dibawah bayang-bayang Soekarno. Inggit justru memberi warna hebat dalam kehebatan Soekarno. Soekarno memang harus Inggit, wanita yang disakitinya, adalah wanita terhebat dalam kehidupan Soekarno. Betapa seorang wanita bekerja keras untuk seorang laki-laki. Hubungan Inggit dan Soekarno, seperti hubungan singa jantan dengan singa betina. Sebagai singa betina, Inggit harus berburu mencari makan untuk singa jantan. Selesai singa jantan makan, maka giliran singa betina dan anak-anak singa yang makan. Sementara itu, sebagai singa jantan, Soekarno hanya bisa memperlihatkan kejantanannya saja. Ia adalah ibu kos yang kemudian bersulih menjadi ibu bangsa.

Sejarah Indonesia pernah mencatat nama-nama wanita yang memimpin sebuah negeri. Sebutlah Ratu Shima, We Tenriolle hingga Megawati—yang tercatat sebagai Presiden wanita pertama dalam sejarah politik Indonesia. Para wanita memberikan contoh bahwa di Indonesia sekalipun, seorang wanita bisa menjadi seorang pemimpin. Mereka tidak hanya menjadi pendamping suaminya yang berkuasa. Seorang wanita bernama Safiatuddin Johan Berdaulat, putri dari Sultan Iskandar Muda, pernah dinobatkan sebagai Sultanah Aceh. Wanita menghadapi kondisi terpaksa menjadi Sultanah karena putra mahkota Aceh, saudara lelakinya, dihukum mati karena sebuah kesalahan. Awalnya suami Safiatuddin yang ditunjuk sebagai pengganti Iskandar Muda. Suami Safiatuddin itu pun tidak panjang usianya. Lalu dirinya yang harus maju memimpin Aceh selama sekitar 30 tahun. Selain Safiatuddin yang dari Aceh, ada contoh penguasa wanita lainnya, dia adalah We Tenriolle yang berkuasa selama 55 tahun.

We Tenriolle yang kurang dikenal dalam sejarah Indonesia. Dia adalah penguasa wanita negeri Tanette di Sulawesi Selatan. Sebaai penguasa, dia pernah mendirikan sekolah rendah modern yang menerima murid-murid wanita pada 1908. We Tenriolle menjadi penguasa Tanette sejak 1855. We Tenriolle berkuasa di Tanette ketika Victoria berkuasa atas Inggris Raya. Mereka menjadi penguasa wanita dengan kurun waktu yang cukup lama.

We Tenriolle nyaris tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Nama wanita sangat jarang dijumpai dalam tulisan-tulisan sejarah, termasuk sejarah Sulawesi Selatan. Mungkin ini karena Tanette bukan kerajaan besar dan terkenal seperti Kerajaan Gowa—yang dipimpin Sultan Hasanudin.

Selain sebagai penguasa wanita yang ahli dalam pemerintahan, We Tenriolle juga wanita yang peduli dengan kesusastraan Bugis kuno, I La Galigo. We Tenriolle belajar sastra ini dari ibunya, Arung Pancana. I La Galigo, atas jasa We Tenriolle dan Arung Pancana bisa dikenal di Negeri Belanda dan dunia. Hal ini dikarenakan ibu dan anak itu berhubungan dengan seorang ahli bahasa kebangsaan Belanda bernama Matthes.

Wanita lain yang bergelut di bidang politik selain We Tenriolle adalah Megawati. Kedua berasal dari zaman yang berbeda. Megawati Soekarno adalah presiden wanita pertama di Indonesia. Sebagai putri Soekarno, Megawati bisa dibilang berada dibawah bayan-bayang ayahnya. Hal ini adalah modal utama, bagaimanapun Soekarno adalah orang berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia tidak akan melupakannya dan Mega adalah titisan yang menyimpan kharisma Soekarno untuk memimpin Indonesia.
Karier politiknya begitu berliku karena tekanan dari rezim orde baru. Sosok yang begitu pendiam ini mulai menapaki politik bersama Partai Demokrasi Indonesia, dimana pengaruh ayahnya begitu kuat dalam partai ini. Partai ini juga terbilang berani bersebrangan dengan penguasa sebelum Reformasi bergulir. Tekanan rezim orde baru tidak mematikan karir Megawati. Dukungan atas dirinya terus mengalir hingga orde baru ditumbangkan oleh Reformasi.

Pemilu 1999, memang mampu menaikan Megawati dan partainya sebagai pemeneng besar dalam Pemilu. Dalam pemilu orde baru, PDI selalu dikalahkan oleh partai dukungan penguasa. Meski Megawati menang dalam pemilu, namun posisi Presiden kala itu diposisikan pada Gus Dur. Megawati baru naik menjadi Presiden setelah Gus Dur turun dari jabatan itu setelah sebuah Sidang Istimewa. Megawati pun tidak lama menjadi Presiden, tidak sampai lima tahun. Pemilu tahun 2004 tidak lagi menunjuk Megawati sebagai pimpinan Republik Indonesia. Tapi sejarah menabalkannya sebagai Ibu Presiden Indonesia yang pertama.

Ada juga wanita yang tidak menjadi penguasa namun begitu berpengaruh dalam kekuasaan. Wanita adalah pendamping suaminya yang menjadi penguasa. Tien Soeharto adalah Ibu Negara paling utuh. Hal ini sangat memungkinkan karena Soeharto hanya memiliki Tien sebagai istrinya. Berbeda jauh dengan Soekarno yang memiliki banyak istri. Orang Indonesia mungkin akan bingung menjawab siapa yang menjadi Ibu Negara di masa Orde Lama. Tien tetap harus diposisikan sebagai Ibu Negara paling utuh pertama dalam sejarah adanya Ibu Negara Republik ini. Ia adalah ibu pembangunan bagi Indonesia.

Para tokoh disini digambarkan semanusiawi mungkin dalam kacamata kami, sejarawan muda. Harus disadari bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya putih maupun sepenuhnya hitam dalam sejarah manusia. Dunia ini hanya memiliki manusia yang abu-abu. Setiap manusia menyimpan sisi hitam dan putihnya sendiri-sendiri. Begitu pun para tokoh tadi, mereka juga punya sikap yang mungkin menurut kita tidak berkenan. Namun mereka juga memiliki sifat yang kita teladani. Tidak semua buah rasanya manis, begitupun sejarah. Tidak ada sejarah yang hanya memiliki sisi indah saja, sisi kelam pun dimiliki sejarah. Sejarah yang hanya menyajikan keindahan saja sungguh tidaklah manusiawi. Penilaian baik yang berlebihan dalam sebuah historiografi akan menimbulkan kesan pembodohan dan tidak jujur dimata orang-orang kritis. (Petrik Metanasi, editor)




TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)

Tidak ada komentar: