Minggu, 31 Mei 2009

Seratus Buku Sastra Indonesia Yang Perlu Dibaca Sebelum Dikuburkan

Editor: An. Ismanto
Penulis: An. Ismanto, Anna Elfira, AR Fiana, As’adi Muhammad, Burhan Fanani, FF Armadita, Fairuzul Mumtaz, Lukmanul Hakim, Minan Nuri Rahman, Mindiptono Akbar, M. Fahmi Amrulloh, Mujibur Rohman, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Ridwan Munawwar, Wahmuji
Penerbit: I:BOEKOE
Tebal: 1001 hlm
Ukuran: 15 x 24 cm (hard cover)
ISBN: 978-979-15093-8-1
Harga: Rp 400.000 [CETAK TERBATAS]


Buku ini tidak bermaksud mengajukan suatu daftar ”buku-buku terbaik” ataupun ”buku-buku terpenting”. Tujuan utama buku ini adalah untuk menemui buku-buku karya sastra yang punya pengaruh besar dalam membangun pilar-pilar utama Pax Literaria Indonesia.

Nyatanya, pengaruh semacam itu bukan hanya akan terasa di lapangan bahasa dan sastra belaka. Ada buku-buku yang memang hanya berpengaruh di lapangan itu saja tanpa diketahui khalayak yang lebih luas, tetapi lebih banyak lagi buku-buku yang pengaruhnya meloncati batas lapangan itu dan memasuki lapangan kemasyarakatan umum.

Sebagian besar dari buku-buku itu ditolak dengan beberapa ukuran, yaitu:
Pertama, tentu saja buku itu adalah buku karya sastra—dalam pengertian yang paling luas yang artinya akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi, novelet, cerita pendek, lakon/drama, fiksi dan sebagainya.

Kedua, ia harus ”menggoncang” kesusastraan Indonesia. ”Goncangan” itu dapat timbul akibat daya yang kokoh yang dimilikinya sebagai karya sastra.

Di sini diasumsikan bahwa sebuah karya sastra memiliki strukturnya sendiri yang komplet dan self-sufficient, sehingga ia dapat berdiri sendirian dan menjumpai pembaca, lantas membikin ”goncangan nurani” si pembaca.

Dengan demikian, ia sendirian harus mampu bertahan di hadapan pisau ananlisis kritikus sastra dan pakar kesusatraan yang credible. Selain itu ia juga harus mampu memancing pembicaraan atau perdebatan yang luas di kalangan kesusastraan dan boleh jadi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas.

Ketiga, buku itu tidak akan disisihkan bila memberikan pengaruh juga terhadap situasi kemasyarakatan secara umum, baik secara langsung maupun tidak, dengan dua tolak ukur:

Kesatu, buku itu masuk dalam sejarah sastra ”resmi”, artinya masuk ke dalam kurikulum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah. Dengan tolak ukur ini maka semua karya yang tercantum dalam buku pelajaran bahasa Indonesia akan masuk dalam daftar.

Tetapi, akan diutamakan buku-buku yang memiliki ”alamat” dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya Sitti Nurbaya yang sering dirujuk orang ketika berbicara tentang kawin paksa.

Kedua, buku itu punya pengaruh yang nyata terhadap atau dalam kehidupan masyarakat walaupun tidak ”diakui” oleh kurikulum resmi, misalnya diminati masyarakat sehingga laris dalam penjualan atau membuka perspektif ”yang lain” dalam memandang isi ceritanya.

Keseratus buku sastra dalam buku ini disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua (1919) sampai yang paling muda (2005). Dan ditulis oleh para penulis muda yang rata-rata berumur 25 tahun.

[CETAK TERBATAS]
TERTARIK? HUB NO. 0888-6854-721 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 20% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)
[baca]

Selasa, 12 Mei 2009

Seratus Pemberontakan di Nusantara

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Agung dwi Hartanto
Penerbit: I:BOEKOE
Halaman: 539 hlm
Ukuran: 15 x 24 cm (hard cover)
Harga: Rp 300.000


Tidak selamanya, pemberontak itu pendurhaka. Pemberontak belum tentu pengkhianat. Pemberontak juga bukan orang gila yang, tanpa sebab, mengamuk semaunya. Pemberontak selalu punya alibi mengapa mereka berontak.

Pemberontakan biasanya muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan. Ada penguasa yang bertindak tidak adil, atau melakukan tindakan yang mengecewakan.

Seperti Pemerintah Kolonial Hindia Belanda misalnya, yang memiskinkan kaum buruh—salah satunya kaum buruh keretapi yang melakukan pemogokan besar-besaran di tahun 1923. Pemberontakan awak kapal Zeven Proviencien juga dikarenakan pemerintah kolonial dirasa tidak peduli dengan kesejahteraan pelautnya.

Pemberontak, umumnya memperjuangkan kepentingannya yang telah diabaikan. Dengan bertaruh nyawa, pemberontakan menjadi jalan suci untuk memperjuangkan kemanusiaan para pemberontak maupun orang tertindas lainnya.

Kaum pergerakan nasional Indonesia di masa pergerakan awal abad XX juga dianggap pemberontak oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Meski tidak disebut pemberontak dalam pelajaran sejarah di sekolah, namun apa yang dilakukan kaum pergerakan nasional itu adalah sebuah pemberontakan lewat wacana-wacana kebangsaannya. Mereka melawan kekuatan besar yang melebihi daya mereka.

Ada banyak pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia. Sejak zaman kerajaan Hindu, zaman feodal, hingga masa-masa sekarang ini. Jumlahnya lebih dari ratusan, namun banyak yang tidak tercatat dalam sejarah.

Seratus Pemberontakan yang ditulis dalam buku ini juga hanya sebagian dari seluruh pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia.

Dimulai dengan pemberontakan Ken Arok pada tahun 1222 yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kudeta pertama-tama yang terjadi di Indonesia hingga pemberontakan Bupati Pati pada Sutawijaya, raja Mataram Islam.

Pemberontakan-pemberontakan pada masa kolonial, hingga pengibaran bendera RMS yang dilakukan kelompok neo RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 20% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)
[baca]

Sabtu, 18 April 2009

Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa

Judul Buku: Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa
Supervisi: Taufik Rahzen
Koordinator Riset dan Penulisan: Muhidin M Dahlan
Periset: Agung Dwi Hartanto, Arahman Topan Ali, Argus Firmansah, Dian Andika Winda, Iswara N Raditya, Mahtisa Iswari, M Yuanda Zara, Petrik Matanasi, Reni Nuryanti, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Sunarno, Tunggul Tauladan
Lukisan sampul: Dipo Andy
Penerbit: I:BOEKOE, Desember 2008
Tebal: 1184 halaman (edisi hitam putih)
Ukuran: 15x24 cm (hardcover)


Karena hanya cetak terbatas, maka penerbit hanya menerima pesanan. Untuk pemesanan hubungi: 081328690269 (Ria/Jakarta) dan 08886854721 (Nurul/Jogja)

CUPLIKAN PENGANTAR

Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.

Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express.

Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin.

Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.

Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.

Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.”

Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran.

Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.

Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung.

Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.

Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.

Kelima alasan itulah kemudian mengukuhkan bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru.

Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.

Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo.

Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.



BUKU INI DITERBITKAN sebagai sebuah penghargaan atas kerja Tirto Adhi Soerjo yang mangkat dengan tragis pada 7 Desember 1918. Dikerjakan siang malam oleh sembilan sejarawan muda (partikelir) di bawah usia 25 tahun selama dua tahun.

Sebagai sebuah perayaan tradisi pers Indonesia, buku ini menuliskan kembali 365 mini-biografi pers Indonesia. Bukan hanya cetak, tapi juga elektronik, bahkan tradisi pers di internet. Diriset dari pers yang terbit di hampir seluruh daerah, pelbagai bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda), dan seluruh kurun (1907-2007—bahkan sampai merentang lebih jauh pada 1744).

Sekaligus buku ini menandai sebuah maklumat bahwa 7 Desember adalah tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya.


DAFTAR PERS INDONESIA YANG DIRISET

MEDAN PRIJAJI
Koran Pertama Penyuluh Kebangsaan ~ 1

BATAVIASE NOUVELLES
Yang Pertama yang Dibreidel ~ 5

SELOMPRET MELAJOE
Terompet Bisnis Kaoem Pedagang ~ 8

TJAHAJA SIJANG
Dari Penginjil ke Sekuler Progresif ~ 11

PEMBRITA BETAWI
Terbit di Ujung Abad ~ 14

PERTJA BARAT
Satire untuk Padang ~ 17

BINTANG BATAVIA
Koran Putih untuk Rakyat Hindia Belanda ~ 20

RETNODHOEMILAH
Sepoetjoek Soerat Boeat Pembatja ~ 23

PEWARTA BORNEO
Internasionalisme Borneo ~ 26

BINTANG HINDIA
Bangsa Osoelan dan Piekieran ~ 29

PERNIAGAAN
Berdagang Politik ~ 32

SOENDA BERITA
Dari Tjianjur Mengasah Ketajaman Pena ~ 35

SINAR ATJEH
Si Putih Manis dari Ujung Barat ~ 39

SOELOEH KEADILAN
Adik Kandung Mas Medan ~ 43

TJAHAJA TIMOER
Terbit di Antara Kaum Pembatik ~ 46

POETRI HINDIA
Kekasih Cantik dan Alus Mas Medan ~ 49

DJAWI HISWARA
Martodharsono dan Geger Surakarta ~ 53

PANTJARAN WARTA
Anak Hindia Soedah Berapi ~ 57

PEWARTA DELI
Hulu Bagi Jurnalis-Jurnalis Tangguh ~ 60

SINPO
The Bodyguard from Batavia ~ 63

AL-MOENIR
Saudara Mudanya al-Manar ~ 66

MEDAN GOEROE HINDIA
Hak Sekolah untuk Semua ~ 70

OETOESAN MELAJOE
Koran Utusan Kaum Adat ~ 73

TJAJA HINDIA
Nasionalisme Bangsa (Basa) Indonesia ~ 77

DE EXPRES
Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier!!! ~ 80

OETOESAN HINDIA
Hidup Mati untuk Sarekat Islam ~ 83

SAROTOMO
Koran Kritis Dituduh Rasis ~ 87

SOENTING MELAJOE
Disini, Nama Roehana Koeddoes Terpahat ~ 91

SAUDARA HINDIA
Berbagi Ilmu di Majalah ~ 94

BINTANG TIONGHOA
Ada Sawo Matang di Koran Kuning ~ 97

DOENIA BERGERAK
Koran Pamflet untuk Aktivis Berkepala Batu ~ 101

POETRI MARDIKA
Si Gadis Intelek Boedi Oetomo ~ 104

SELOMPRET HINDIA
Tereaklah! ~ 107

BINTANG MATARAM
Gelitik-Menggelitik di Pojok Halaman ~ 110

MEDAN BOEDIMAN
Pandai dan Terampil untuk Karaharjan Negeri ~ 114

MEDAN MOESLIMIN
Hidoep Kaoem Moeslimin Sedoenia ~ 117

SOEARA MOEHAMMADIJAH
Hampir Seabad Bernapas di Bawah Matahari ~ 120

BENIH MARDEKA
Karena Critic itu Menghibur, Toean! ~ 124

HINDIA MOEDA
Visi Perubahan di Lampung ~ 127

IEN PO
Koran dengan Strategi Pemasaran Kreatif ~ 130

NERATJA
Didik Nasionalisme Lewat Jalan Pendidikan ~ 134

SINAR DJAWA
Antara SI, Semaoen, dan Radikalisme Pers ~ 138

BARGA WASTRA
Ksatria Manggis dari Cirebon ~ 142

JONG SUMATRA
Tiada Bahasa, Hilanglah Bangsa ~ 145

PEREMPOEAN BERGERAK
Dari Deli untuk Kesetaraan ~ 148

PERSATOEAN HINDIA
‘De Expres Jilid II ~ 152

SINAR PASOENDAN
Duta Rakyat Pasundan untuk SI Semarang ~ 155

TERADJOE
Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 158

BOEDI OETOMO
Satrija Djawa Sedjati ~ 161

KENG PO
Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 164

JONG JAVA
Dari Jawa untuk Tanah Air ~ 168

MASA BAROE
Ratu Adil dari Bandoeng ~ 172

PEMIMPIN
Jurnalisme Berkelahi yang Berakhir di Bui ~ 175

BENIH PENGETAHOEAN
Dari Kabar Pertukangan Hingga Pergerakan ~ 178

DOENIA BAROE
Konang-konang dalam Benderang Kapitaal ~ 181

MATAHARI
Berkobar-kobar Mendjilat ka Kiri ~ 185

PEMBERITA INDIA
Pengingat yang Diabaikan ~ 188

PERSATOEAN
Nasionalisme Turki untuk Penduduk Hindia ~ 191

BANDERA ISLAM
Patok-patok Merukunkan Islam ~ 194

FADJAR ASIA
Lebih Dekat dengan Tojkro, Salim, dan Wirjo ~ 197

HALILINTAR
Pontianak Diguntjang ‘Petir’ ~ 201

KEMADJOEAN HINDIA
Lahir Setelah Oetoesan Hindia Wassalam ~ 204

OETEOSAN RA’IAT
Dari Dakwah Mimbar ke Dakwah Koran ~ 208

PAHLAWAN
Juru Damai, Redakan Tikai ~ 211

RA’JAT BERGERAK
Misbach Ditangkap dan Medja Redactie Tergontjang!!! ~215

SARASO SAMALOE
Satu Rasa Minang-Pariaman ~ 218

SIN JIT PO
Di Sini si Fjamboek Berduri Pernah Jadi Redacteur ~ 221

SIPATAHOENAN
Nasionalisme Dari Paguyuban Sunda ~ 224

WARTA TIMOER
“Spion” Pembela Kaum Lemah ~ 227

BINTANG BORNEO
Manisfest Nasionalisten op Borneo ~ 230

BOEMIPOETERA
Sang Penakluk Malaise ~ 233

INDONESIA MERDEKA
Seruan Merdeka dari Perhimpunan Indonesia ~ 236

KAOEM KITA
PKI Menipu Sarekat Islam ~ 240

PELITA ANDALAS
Cahaya Terang Tionghoa-Bumiputera ~ 243

SOEARA HINDIA
Dari Dagang hingga Perempuan ~ 246

BERANI
Barang Siapa Jang Bentji Pada Kita ialah Moesoeh Kita! ~ 249

CHABAR MINGGOEAN
Ada yang Menggigit di Feuileton ~ 252

DJAWA TENGAH REVIEW
Jurnal Berita yang Tak Bias dan Biasa ~ 255

DOENIA BAROE
Semesta Tionghoa untuk Indonesia ~ 258

FIKIRAN
Penyambung Lidah Rakyat Minahasa ~ 261

HINDIA BAROE
Iklan Menjepit Haji Agus Salim ~ 264

NJALA
Ra’jat Mengadoe Didjawab dengan Kelewang ~ 267

PENJOELOEH
Memojokkan Polisi Kolonial Dapat Teguran Bestuur ~ 270

PERSATOEAN RA’JAT
Kaoem Miskin dari Segala Bangsa dan Agama Bersatoelah ~ 273

SWARA PUBLIEK
“Doesta” yang Bilang Pers Peranakan Ta’ Nasionalist ~ 276

TEMPO
Sebarisan Penganjur Dari Koran Jogja ~ 280

TJAHJA PALEMBANG
Menerangi Kebusukan ~ 284

BINTANG TIMOER
Yang Membujur lalu yang Melintang Patah ~ 287

HAN PO
Jadikanlah Kami Indonesiamu Juga ~ 290

PEMBERITA
Berayun Bersama Perlawanan Merah ‘26 ~ 294

PERSAUDARA’AN
Pemantik Semangat Kemajuan Rakyat ~ 297

PERTJA SELATAN
Bangoenlah Wong Palembang! ~ 300

SINAR BORNEO
Jurnalisme Scolastik dari Pontianak ~ 303

SINAR INDONESIA
Hakim Bagi Musuh Kaum Proletar ~ 306

SOEARA BORNEO
Kabar dari Negeri Mandau ~ 309

SOEARA MOERID
Penegak Surau di Padang Pandjang ~ 312

SOEARA TAMAN SISWA
Pejuang Pendidikan Bangsa Indonesia ~ 315

SOELING HINDIA
Mengaloen Oentoek Indonesia Raja ~ 318

SOELOEH INDONESIA
Jurnal Politik Kaum Cerdik Cendekia ~ 321

TJAHAJA DJOMBANG
Setitik Api dari Djombang ~ 325

BOEMI MELAJOE
Dari Selatan Pulau Perca Mengeja Indonesia ~ 328

MIMBAR CELEBES
Pergerakan dan Kritik Budaya ~ 331

MATAHARI INDONESIA
Iwa Pun Dikurung di Belakang Matahari ~ 334

PELITA BANGKA
Surat Kabar Pertama di Bangka ~ 338

PERSATOEAN INDONESIA
Pekik Nasionalisme Soekarno ~ 341

PEWARTA MADIOEN
Dulu Sekedar Reclame Sekarang Moweat Segala Brita ~ 344

SOEARA KITA
Banggalah Berbahasa Indonesia ~ 347

ISTERI
Utusan Perikatan Perempoean Indonesia ~ 351

ISTRI MERDIKA
Memori Masa Lalu dan Cermin Kini ~ 354

PEWARTA MENADO
Seruan dari Utara Celebes ~ 357

SIN TIT PO
Persemaian Jiwa Indonesia ~ 360

SINAR DELI
Dalam Arus Besar Pergerakan ~ 363

SINAR LAOETAN
Jalan Belakang Menuju Kebebasan ~ 366

SOEARA TIMOER
Berjuang untuk Ibu Timur ~ 369

FADJAR INDONESIA
Reportase Perbudakan Kolonial di Mandar ~ 372

PERGERAKAN
Pembela Peranakan di Belakang Tembok ~ 375

SEDAR
Penentang Keras Poligami ~ 378

INDONESIA MOEDA
Yang Muda, yang Berkarya ~ 382

SOEARA KAOEM
Agoes Salim dan Persatuan Kaum Muda ~ 385

RA’JAT
Si Pedagog dari Madura ~ 388

BARISAN KITA
Di Mangkasar Matahari Molai Bertjahaja ~ 391

DAULAT RA’JAT
Mengembalikan Pergerakan ke Jalur Pemikiran ~ 394

LENTERA
Kaoem Iboe Wadjib Tempoer ~ 398

AKSI
Apa Tuan Seorang Nasionalist ~ 401

MEDAN RA’JAT
Koran Islam Semua Paham ~ 405

OETOESAN INDONESIA
Dari Kiri ke Nasionalis ~ 408

SOEARA MERDEKA
Ketika Gerakan Pemuda dan Pemudi Sama Pentingnya ~ 412

SOEARA OEMOEM
Dari ‘Studie Club’ ke ‘Parindra’ ~ 416

SOELOEH KAOEM MOEDA
Sajian Untuk Kaum yang Dilarang Berhutang ~ 419

SURYA
Sekutu Soekarno dari Andalas ~ 422

API RA’JAT
Api juang berkubar-kubar dalam Tungku ~ 425

ASIA BAROE
Naga di Bumi Pasundan ~ 428

BANTENG
Jago Tarung dari Partindo ~ 431

FIKIRAN RA’JAT
Kaoem Marhaen, Inilah Madjalah Kamoe! ~ 434

MENJALA
Organ PNI Sembunyi Tangan ~ 437

SENDJATA RA’JAT
Penyokong Pergerakan yang Radikal ~ 440

ADIL
Menuntun Umat, Mengawal Lahirnya Reformasi ~ 443

PENJEBAR SEMANGAT
Untuk Bangsa Kita Kaum Kromo ~ 447

PEMANDANGAN
Mozaik Nasionalist Indonesia ~ 450

POEDJANGGA BAROE
Pandu Kebudayaan Indonesia ~ 454

WARTA KEMADJOEAN
Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 457

MINAHASSA POST
Bukan (Lagi) Kroni Kolonial ~ 460

OETOESAN
Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 463

SINAR SUMATRA
Ketika Melayu Ingin Modern ~ 466

SOELAWESI
Nyemprot, tapi bukan Propaganda ~ 469

TABOEH
Nasionalisme dari Negeri Asing ~ 472

ISTERI INDONESIA
Kami Hanya Perkumpulan Sosial ~ 475

PENJEDAR
Penyadar di Kala Tak Sadar ~ 478

SOEARA PARINDRA
Gaung Bergabung Menuju Persatuan ~ 481

TJAJA BOGOR
“Obat Kuat” Buat Bogor ~ 484

NATIONALE COMMENTAREN
Trengginasnya Orang Manado! ~ 487

PENOENTOEN PIKIRAN
Memperjuangkan Borneo ~ 490

PEWARTA OEMOEM
Mengenalkan Pemimpin dan Bangsa Lewat Pidato ~ 493

SEPAKAT
Penjajahan, Perang, dan Kesadaran ~ 496

SEROEAN
Gorontalo Minta Diperhatikan ~ 499

SINAR BAROE
Juru Bicara Saudara Tua ~ 502

DJAWA BAROE
Kumpulkanlah Biji Jarak ~ 505

PESAT
Santun Dalam Kata, Bijak Dalam Berita ~ 509

REPOEBLIK
Suplemen Nasionalisme dalam Berita Perang ~ 512

BERITA INDONESIA
Koran Propaganda Kemerdekaan ~ 515

BINTANG MERAH
Dengan Jurnal Kembali ke Atas Panggung ~ 518

DJAJABAJA
Mulut Jawa Prabu Karno ~ 521

KEDAULATAN RAKJAT
Saksi Jatuh Bangunnya Pemerintahan Indonesia ~ 524

MERAH POETIH
Pentingnya Uang Bagi Negara Merdeka ~ 528

RRI
Sekali di Udara, Tetap di Udara ~ 531

MERDEKA
Barisan Pembela Soekarnoisme yang Dihempas Soekarno ~ 534

HIDUP
Dari Katolik untuk Indonesia ~ 537

PANDJI RA’JAT
Koran Gratis untuk Indonesia ~ 541

PEMBANGOEN
Njalakan Api Persaoedaraan Bangsa-Bangsa ~ 544

SUARA MASJARAKAT
Penerang dari Malang ~ 547

SOEARA MERDEKA
Siapa Pengkhianat, Siapa Pembela Revolusi ~ 550

SOELOEH MERDEKA
Seiya Sekata, Sahabat Sejati Republiken ~ 553

BAKTI
Ksatria Baret dalam Berita ~ 556

BERNAS
Koran untuk Kota Pendidikan ~ 559

GELOMBANG ZAMAN
Penggiring Badai Revolusi ~ 562

GELORA RAKJAT
Nasionalisme dalam Lembaran Koran ~ 566

GEMA MASSA
Kesetiaan yang Pahit ~ 569

MASJARAKAT BAROE
Geliat Damai Staat van Beleg ~ 572

NUSANTARA
“Harian Got dan Fasis” ~ 575

PELITA RAKJAT
Suratkabar Berhaluan Nasionalis ~ 578

BINTANG INDONESIA
Lentur Mewartakan Perekonomian ~ 581

MIMBAR UMUM
Koran Medan, Berita Jakarta ~ 584

MINGGU PAGI
Dua Jilid Perlawanan Seniman Malioboro ~ 587

PEDOMAN RAKJAT
Penghadang Jalan Kudeta ~ 590

PENABOER
Dari Jakarta Menabur Kasih ~ 593

PENINDJAU
Kecak-kecak Warna Politik ~ 596

PENOENTOEN PERDJOEANGAN
Dari Bukitinggi Menyusun Strategi ~ 599

SIASAT
“Jalan Puisi” dalam (Berita) Politik Indonesia ~ 603

TROMPET MASJARAKAT
Tiada Hari Tanpa Meja Hijau ~ 607

WAKTOE
Enak Dibaca dan Penting ~ 610

WARTA EKONOMI
Mencari Format Ekonomi yang Berkeindonesiaan ~ 613

WASPADA
Di Bawah Bayang-Bayang ‘Sang Godfather’ ~ 616

GEMA SUASANA
Eksodus Sastra Kritik ~ 619

KESATUAN INDONESIA
Sadar Satu Sebangsa ~ 622

HIKMAH
Karena Komunis Harus Ditendang! ~ 625

MESTIKA
Media Intrik Nir Partai ~ 629

PEDOMAN
Presiden Soeharto: “Pedoman...Pateni wae...” ~ 632

PERDAMAIAN
‘Proces Sedjarah’ Sebagai Tonggak Ingatan ~ 635

SIKAP
Diplomasi Kuat Bangsa Berdaulat ~ 639

SUARA INDONESIA
Keseimbangan Informasi dan Hiburan ~ 642

SUMBER
Kesatuan Indonesia Sebagai Harga Mati ~ 645

WARTA INDONESIA
Keteguhan dalam Pergolakan ~ 648

ABAD BARU
‘Pudjangga Baru’ van Medan ~ 652

DUNIA EKONOMI
Menyapa Kaum Papa Lewat Media ~ 655

HARIAN UMUM
‘Pak Pentol’ dan Benteng Kewarasan ~ 659

INDONESIA RAYA
Berkali-kali Dibredel Baru Mati ~ 662

DJAWA POST
Sebuah Anomali Pers Melayu Tionghoa ~ 666

MEKAR
Tetap Setia pada Bu Fat ~ 670

SUNDAY COURIER
Rupa-Rupa Politik di Hari Minggu ~ 673

TANAH AIR
Mengabdi dengan Setia Kepada Tanah Air ~ 676

ABADI
Hidupnya tak Seabadi Namanya ~ 679

PENGHARAPAN
Hikayat Sepotong Kisah Korupsi ~ 683

RAKJAT BERDJOANG
Daerah Berontak, Siapa Dalang? ~ 686

SUARA MERDEKA
Koran Daerah Bernapas Nasional ~ 689

UTUSAN INDONESIA
Tahu Menghargai Pahlawan ~ 692

BASIS
Jurnalisme Seribu Mata ~ 695

HARIAN RAKJAT
Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit ~ 699

IPPHOS
Sejarah dalam Selembar Foto ~ 703

KOMPAS
Nugroho Notosusanto Berhasrat

Memperdalam Keinsafan ~ 706
MARHAEN

Si Penyambung Lidah Karno di Makassar ~ 709
MINGGUAN HARAPAN

Bedil Berpeluru Civic Mission ~ 712
PEMUDA

Kenapa Mesti Mesti Menyembah Pada Angkatan Tua ~ 715
PUTERA SAMUDERA

Para Penjaga Laut ~ 718
STAR WEEKLY

Di Satu Putaran Jalan Hidup PK Ojong ~ 721
TEGAS

Tanah Rencong Menuntut “Kemerdekaan Kolonial” ~ 724
MIMBAR INDONESIA

Secangkir Kopi dan Berita Hangat di Sore Hari ~ 727
OLAHRAGA

Pengabar Krida Negara ~ 730
INDONESIA

Dari Idrus Hingga Armijn Pane ~ 733
SULUH INDONESIA

Karena Buku Belajar Memahami Soekarnoisme ~ 736
SURABAYA POST

Terbit Sore dengan Jurnalisme Putih ~ 739
DUTA MASJARAKAT

Bintang Sembilan di Tengah Prahara’ 59 ~ 742
WARTA BANDUNG

Bersama Belok Kiri ~ 745

MINGGUAN SADAR
Media Hiburan Melek Politik ~ 748

PROKLAMASI
Soekarno Kawin Lagi ~ 751

REPUBLIK
Djelek-djelek Tetap Djakarta Kite ~ 754

BUSINESS NEWS
Setia Memediasi Kebijakan Ekomomi ~ 757

SI KUNTJUNG
Legenda Majalah Anak ~ 760

IBU
Bukan “Perempuan”, Tapi “Wanita” ~ 763

PELOPOR
Kabar Buruk Buat Bung Karno ~ 766

REPUBLIK
Res Publica di Kota Atlas ~ 769

SKETSMASA
Dengan Berita Mencerdaskan Bangsa ~ 772

POS INDONESIA
Banyak Cara Berkelit dari Jeratan Delict ~ 775

SELECTA
Diberangus Hanya Karena Mengatai Soeharto Bukan Anak Petani ~ 778

WARTA
Ibu Maju, Bangsa Maju ~ 782

PANDJI MASYARAKAT
Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis ~ 785

DUTA PANTJASILA
Algojo Pengikis Separatis ~ 788

SASTRA
Kiri Kanan Jadi Lawan ~ 791

SINAR HARAPAN
Harga Sebuah Keberanian ~ 794

TVRI
Si Pionir yang Terengah di Pasar Siar ~ 797

BAHTERA AMPERA
Di Laut (Kapan) Kita Jaya ~ 800

INDEPENDENT TJENDRAWASIH
Menulis Irian Barat dari Jakarta ~ 803

INTISARI
Yang ‘Seksi’ yang ‘Berdisi’ ~ 806

ANGKATAN BERSENDJATA
Di Bawah Lindungan Para Jendral ~ 809

BALI POST
Dari “Pengemban Pancasila” hingga “Matahari dari Bali” ~ 812

BERDIKARI
Di Tengah Kurun Pembersihan PKI ~ 815

BERITA YUDHA
Lolos Dari Surat Keputusan ~ 818

DWIKORA
Gagal Memediasi Bung Karno dan Rakyat ~ 821

KOMPAS
Jurnalisme Anggun Dari Palmerah ~ 824

NUSA PUTERA
Yang Selamat dari Badai ~ 828

WARTA BERITA ANTARA
Lumbung Informasi, Terbit Pagi-Sore ~ 831

API ISLAM
Berwajah Islam, Berotak Pancasila ~ 835

GALA
Jitu Mengail Pengiklan ~ 838

HARIAN KAMI
Amarah dari Sebuah Angkatan ~ 841

HORISON
Di tengah Sengkarut Langit Sastra Indonesia ~ 844

KARTIKA
Pasukan Pengawal Orde Baru di Jawa Tengah ~ 847

MASA KINI
Di Kota Pelajar Membangun dan Mendidik ~ 850

MERTJU SUAR
Matahari Pagi di Jogjakarta ~ 853

PELOPOR BARU
Requiem Senja di Koran Sore ~ 856

PIKIRAN RAKYAT
Raja Koran di Tatar Pasundan ~ 859

PELOPOR JOGJA
Dua Era Membela Pancasila ~ 862

NUSA TENGGARA
Melihat Nusa Dari Cara Pandang Tenggara ~ 865

AKTUIL
Yang Kreatif yang Laris ~ 868

OPINI INDONESIA
Tukang Minyak Jualan Koran ~ 871

D&R
Ada Detektif di Pers ~ 874

ELSHINTA
“News and Talk” 24 jam Non Stop ~ 877

REVOLUSIONER
Jangan Main-main dengan Baju Loreng ~ 880

SINGGALANG
‘Jurus 4 Pendekar’ ~ 883

EKSPRES
Yang Kritis yang Dilindas ~ 886

TRUBUS
Membangun Indonesia Berswadaya ~ 889

MEDIA INDONESIA
Koran dengan Editorial yang “Galak” ~ 892

MIMBAR MASYARAKAT
Saksi Bisu Matinya Pers Indonesia ~ 895

POS KOTA
Bertarung dalam Isu-isu Urban ~ 898

SINAR INDONESIA BARU
Ramuan Sang Tabib ~ 901

KENDARI POS
Awalnya Koran Beringin ~ 905

BANJARMASIN POST
Membelah Arus Kapuas ~ 908

BERITA BUANA
Memulai Hari di Siang Bolong ~ 911

NYATA
Lebih dari Sekadar Hiburan bagi Wanita ~ 915

PRISMA
Rumah Kelahiran Cendekiawan Eksos ~ 918

SUARA KARYA
Bunyi Bising dari Balik Beringin ~ 921

TEMPO
Dari Berita ke Cerita ~ 924

FEMINA
Ratu Majalah Wanita Indonesia ~ 929

KARTINI
Pernah Seatap dengan Madonna ~ 932

MONITOR
Arswendo dan Sang Nabi di Tabloid Iher ~ 935

TOPIK
Kalem dalam Tutur Kata, Objektif dalam Berita ~ 938

DIAN
Membangun Manusia Pembangun ~ 941

HARIAN DUTA
Corong Orba di Pucuk Rencong ~ 944

LAMPUNG POST
Lampung, Pers, dan Kepercayaan ~ 947

PELITA
Bintang yang Berkali-kali Terbentur Dinding ~ 951

JAKARTA JAKARTA
Jurnalisme Sastra Fotografi ~ 954

FAJAR
Menjadi Matahari di Kota Angin Mamiri ~ 957

JAWA POS
Menanam Radar di Setiap Kota ~ 960

SARINAH
Pesona yang Tak Lekang ~ 963

THE JAKARTA POS
Dipersembahkan untuk Pembaca (Berbahasa) Asing ~ 966

BOLA
Nasionalisme di Lapangan Hijau ~ 969

BISNIS INDONESIA
Dari Bekas Bengkes Hingga Wisma ~ 972

SABILI
Mujahid Tahan Kritik ~ 975

JAMBI INDEPENDENT
Dari Satu Kantor ke Kantor Lainnya ~ 978

INFO KOMPUTER
Swalayan Maya di Musim Digital ~ 981

PONTIANAK POST
Tonggak dan Tombak Rakyat Kalimantan Barat ~ 984

PRIORITAS
Mati Dini Si Bayi Ajaib Dari Gondangdia ~ 987

HARIAN SURYA
Kala Seniman Berebut Surat Keputusan Penguasa ~ 990

WAWASAN
Koran Sore dengan Gaya Blak-blakan ~ 993

EDITOR
Membangun Indonesia dengan Kritik ~ 996

MANADO POST
Lahir dari “Baku Belante” ~ 1000

SRIWIJAYA POST
Untuk Wong Kito di Bumi Sriwijaya ~ 1003

RCTI
Televisi Pertama Swasta Indonesia ~ 1007

SUARA PEMBARUAN
Sepotong Hikayat si Pemain Pengganti ~ 1010

KALTIM POST
Dari Oost Borneo untuk Indonesia Timur ~ 1013

NOVA
Inspirasi Wanita Indonesia ~ 1016

SERAMBI INDONESIA
Bertahan dari Pelbagai Hempasan ~ 1019

WARTA EKONOMI
Memikat dan Mengikat dengan Peringkat ~ 1023

YOGYA POST
Yogya dan Kopi Sore Ala Emha ~ 1027

FORUM KEADILAN
Membincangkan Delik dan Perkara ~ 1030

ULUMUL QUR’AN
Cendekiawan Muslim Menjawab Tantangan Zaman ~ 1033

RIAU POS
Mengembalikan Kejayaan Raja Ali Haji ~ 1037

TRIJAYA
Mengudara Lebih Dari Sekadar Musik ~ 1040

POS KUPANG
Oase di Padang Gersang ~ 1043

ANTV
Lima Jam Lalu Jadi Bintang ~ 1046

DETIK
Kami Akan Tetap Berpikir Merdeka ~ 1049

CENDRAWASIH POS
Obor di Rimba Gelap Papua ~ 1052

KALTENG POS
Di Antara Rimba dan Sungai ~ 1055

REPUBLIKA
Harian Islam Generasi Ketiga ~ 1058

GATRA
Lahir dari Geger Breidel ~ 1061

KALAM
Menolak Keseragaman Kebudayaan ~ 1064

SCTV
(Dari) Satu untuk Semua ~ 1068

INDOSIAR
Awalnya Menjanjikan ~ 1072

PERSPEKTIF
Masa Depan Blog Pada Isinya ~ 1075

KONTAN
Menyuarakan Kemandirian ~ 1078

JURNAL PEREMPUAN
Dari Jurnal ke LSM Profesional ~ 1081

SOLOPOS
Koran Muda di Kuburan Pers ~ 1085

MALANG POST
Ikon di Kandang “Singo Edan” ~ 1088

DETIK.COM
Karena Waktu Jantung Informasi ~ 1091

CEK & RICEK
Baca Gosip atau Fakta ~ 1094

AMBON EKSPRES
Untuk yang Mencintai dan Menjaga Ambon ~ 1097

FLORES POS
Bertahan tanpa Naungan Konglomerasi ~ 1100

PADANG EKSPRES
Membangun Pers Lokal ~ 1103

KBR 68H
Mengudara dari Sabang sampai Merauke ~ 1106

PANTAU
Empat Format dan Sembilan Elemen Jurnalisme ~ 1110

RAKYAT MERDEKA
Kembalinya “Jurnalisme Mimbar” ~ 1113

METRO TV
Barometer Berita Tanpa Jeda ~ 1116

GAUNG NTB
Maju Terus Berkata Benar ~ 1120

LAMPU MERAH
Dari Judul Ketahuan Isi ~ 1123

TRANS TV
Ini Tentang Televisi dan Bakso ~ 1126

KORAN TEMPO
Pelopor Trend Baru Koran Kompak ~ 1129

ATVLI
Dari Aceh Sampai Papua Berjajar Layar Kaca ~ 1132

PULSA
Lembar Ragam Telepon Genggam ~ 1136

TOPSKOR
Mengolah Raga Sepanjang Kala ~ 1139

SEPUTAR INDONESIA
Datang Pagi Datang Sore ~ 1142

PANYINGKUL
Jurnalisme Warga dari Makassar ~ 1145

JURNAL NASIONAL
Mediasi Publik-Republik ~ 1148



TERTARIK? HUB NO. 08886854721 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT ANTARA 20 % - 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)
[baca]

Jumat, 19 September 2008

7 Ibu Bangsa


Penulis: Andri Rahman Ali, Galih Priatmodjo, Hajar Nur Setyowati, Hilman, I Kleruk Mau, Oryza Aditama, Petrik Metanasi, Reni Nuryanti
Penerbit: RahZenBook (2008)
Tebal: 532 halaman
Harga: Rp 150.000
NOTE: Hanya edisi terbatas HARDCOVER dan dilayani jika ada pesanan.


Buku ini berusaha menggambarkan tujuh tokoh wanita dalam sejarah Indonesia. Mereka memiliki keunikannya masing-masing. Cut Nyak Dien tercitra sebagai wanita pemberani dari Aceh yang begitu gigih memerangi militer Hindia Belanda yang berusaha menegakan kolonialisme dan imperialisme modern di tanah Aceh. Meski perlawanannya tertindas, perlawanan heroik Cut Nyak Dien layak menjadi teladan bagi kaum wanita. Seperti prinsip pemberontak Sein Fein di Irlandia, “berjuang dan kalah lebih baik daripada tidak berjuang sama sekali.”

Cut Nyak Dien memang bukan satu-satunya wanita yang ikut berperang melawan Imperialisme dan Kolonialisme Hindia Belanda. Sulawesi Selatan punya Besse Kajuara, Maluku punya Martha Christina Tiahahu, Jawa juga punya Nyi Ageng Serang. Berperang bukan hal mudah. Terlibat dalam peperangan berarti harus menderita. Dalam sejarah, derita peperangan bukan saja didera kaum lelaki, tapi juga wanita. Menghadapi hal semacam itu memang membutuhkan kekuatan. Ini bukti bahwa wanita tidak lemah. Dibalik kelemahannya itu, mereka menyimpan kekuatan.

Cut Nyak Dien mewakili wanita Aceh, maupun seluruh bangsa Indonesia, dalam berperang. Cut Nyak Dien menerapkan tak-tik gerilya terhadap militer Hindia Belanda yang terlatih baik. Tak-tik gerilya Cut Nyak Dien lalu diadaptasi oleh pejuang kemerdekaan RI selama Perang Kemerdekaan, meski tidak sempurna, seperti kata Jenderal Besar Indonesia Abdul Haris Nasution. Sebut saja ia ibu gerilya Indonesia yang berperang sampai tenaga terakhir.

Kartini bukan nama asing bagi wanita Indonesia. Anak SD pun kenal Kartini sebagai pendekarnya kaum wanita Indonesia. Tulisannya dalam Door Duisternis Tot Licht—yang di-Indonesiakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang—mengandung semangat kebangkitan kaum wanita yang menggugah kaum intelektual humanis.

Semua terlahir dari pengalaman Kartini sebagai wanita priyayi yang penuh kekangan. Kartini merasa hidup dalam sangkar emas. Kartini menghendaki kesempatan sama dalam hal mengakses pendidikan yang layak, seperti apa yang diperoleh Kartono—seorang kakak kandung yang begitu mengertinya.

Atas kondisi yang menyiksanya Kartini hanya bisa menulis surat yang kemudian mengugah banyak orang. Kondisi tidak langsung berubah tentunya. Perubahan memang butuh waktu. Bagaimanapun, apa yang ditulis Kartini mampu mempengaruhi pikiran banyak orang hingga orang-orang yang terpengaruh itu bergerak dan tanpa sadar apa yang suarakan Kartini terjuangkan juga. Perlahan apa yang dialami Kartini nyaris tidak lagi dialami oleh wanita-wanita zaman sekarang. Ia adalah ibu penulis Indonesia. Yang mengkonsolidasikan perlawanan individu dan refleksi kemerdekaan dan emansipasi lewat tradisi epistolari.

Roehana Koeddoes tidak lain adalah kakak tiri Syahrir. Wanita ini mampu belajar autodidak. Roehana pada akhirnya mampu menjadi jurnalis sekaligus pendidik. Tulisannya cukup dikenal dan berpengaruh. Koleganya, termasuk suaminya yang jurnalis juga begitu mendukungnya untuk terus menulis.

Sekolah yang dibangun Roehana juga terbilang maju. Barang kerajinan yang dihasilkan sekolahnya juga diminati di pasaran. Dengan sekolah ini juga Roehana telah memajukan kaum wanita. Dimana Roehana berusaha agar para wanita ‘melek huruf’. Hasilnya, wanita yang ikut dalam sekolah itu mampu membaca dan menulis surat dengan suami mereka yang merantau .

Keterbatasan pendidikannya tidak menghalanginya untuk berbagi pada sesama wanita. Gunjingan dari sesama wanita yang iri padanya sangat menghambat sebagian langkahnya. Sebuah gunjingan tidak bertanggungjawab juga menghambat langkahnya untuk pergi ke Eropa. Padahal kepergian Roehana ke Eropa itu bisa menjadi pengalaman berharga di masa depan. Ia adalah ibu bagi jurnalis Indonesia dan sekaligus melibatkan diri secara aktif dalam pendidikan khusus perempuan Indonesia walau dalam batas-batas geografis.

Inggit Garnasih adalah seorang wanita berjuang untuk pria, seperti Inggit telah berjuang begitu banyak atas diri Soekarno dan perjuangannya. Hampir semua kebutuhan Soekarno dipenuhi Inggit. Ironis memang kehidupan Inggit, harusnya sebagai seorang istri seorang Insinyur dirinya bisa hidup nyaman di zaman Hindia Belanda. Tapi Inggit tidak pernah meminta kenyamanan hidup dari suaminya. Apa yang terjadi kemudian, Inggit nyaris tidak merasakan hasil jerih payahnya memperjuangkan Soekarno. Inggit tidak pernah meminta balasan apapun. Apa yang diberikan Soekarno padanya, ketika meninggalkannya untuk menikah lagi, tidak lain dari pada sakit hati yang harus ditanggungnya sebagai wanita terhormat.

Seorang wanita yang pernah memperjuangkannya dengan gigih dan setia, oleh Soekarno itu dicampakannya demi kehidupannya yang cerah di masa depan. Selepas dari Soekarno, Inggit masih bisa menghadapi kehidupan seperti biasa. Seperti sebelum dirinya menikah dengan Soekarno. Inggit mampu bertahan hidup karena dirinya sejak awal memang tipikal wanita pekerja keras. Inggit tidak akan sulit hidupnya tanpa kehadiran Soekarno. Tapi entah seperti apa jika dibayangkan Soekarno tanpa Inggit dalam pengasingan. Bagaimana pun, Inggit dalam hubungannya dengan Soekarno adalah tipe wanita yang memberi dan nyaris tanpa pernah meminta lebih. Balasan dari Soekarno pun Inggit tidak meminta, meski dirinya ditinggalkan Soekarno. Sebagai wanita tangguh dan bermental baja, Inggit mampu menjadi dirinya.

Inggit tidak berada dibawah bayang-bayang Soekarno. Inggit justru memberi warna hebat dalam kehebatan Soekarno. Soekarno memang harus Inggit, wanita yang disakitinya, adalah wanita terhebat dalam kehidupan Soekarno. Betapa seorang wanita bekerja keras untuk seorang laki-laki. Hubungan Inggit dan Soekarno, seperti hubungan singa jantan dengan singa betina. Sebagai singa betina, Inggit harus berburu mencari makan untuk singa jantan. Selesai singa jantan makan, maka giliran singa betina dan anak-anak singa yang makan. Sementara itu, sebagai singa jantan, Soekarno hanya bisa memperlihatkan kejantanannya saja. Ia adalah ibu kos yang kemudian bersulih menjadi ibu bangsa.

Sejarah Indonesia pernah mencatat nama-nama wanita yang memimpin sebuah negeri. Sebutlah Ratu Shima, We Tenriolle hingga Megawati—yang tercatat sebagai Presiden wanita pertama dalam sejarah politik Indonesia. Para wanita memberikan contoh bahwa di Indonesia sekalipun, seorang wanita bisa menjadi seorang pemimpin. Mereka tidak hanya menjadi pendamping suaminya yang berkuasa. Seorang wanita bernama Safiatuddin Johan Berdaulat, putri dari Sultan Iskandar Muda, pernah dinobatkan sebagai Sultanah Aceh. Wanita menghadapi kondisi terpaksa menjadi Sultanah karena putra mahkota Aceh, saudara lelakinya, dihukum mati karena sebuah kesalahan. Awalnya suami Safiatuddin yang ditunjuk sebagai pengganti Iskandar Muda. Suami Safiatuddin itu pun tidak panjang usianya. Lalu dirinya yang harus maju memimpin Aceh selama sekitar 30 tahun. Selain Safiatuddin yang dari Aceh, ada contoh penguasa wanita lainnya, dia adalah We Tenriolle yang berkuasa selama 55 tahun.

We Tenriolle yang kurang dikenal dalam sejarah Indonesia. Dia adalah penguasa wanita negeri Tanette di Sulawesi Selatan. Sebaai penguasa, dia pernah mendirikan sekolah rendah modern yang menerima murid-murid wanita pada 1908. We Tenriolle menjadi penguasa Tanette sejak 1855. We Tenriolle berkuasa di Tanette ketika Victoria berkuasa atas Inggris Raya. Mereka menjadi penguasa wanita dengan kurun waktu yang cukup lama.

We Tenriolle nyaris tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Nama wanita sangat jarang dijumpai dalam tulisan-tulisan sejarah, termasuk sejarah Sulawesi Selatan. Mungkin ini karena Tanette bukan kerajaan besar dan terkenal seperti Kerajaan Gowa—yang dipimpin Sultan Hasanudin.

Selain sebagai penguasa wanita yang ahli dalam pemerintahan, We Tenriolle juga wanita yang peduli dengan kesusastraan Bugis kuno, I La Galigo. We Tenriolle belajar sastra ini dari ibunya, Arung Pancana. I La Galigo, atas jasa We Tenriolle dan Arung Pancana bisa dikenal di Negeri Belanda dan dunia. Hal ini dikarenakan ibu dan anak itu berhubungan dengan seorang ahli bahasa kebangsaan Belanda bernama Matthes.

Wanita lain yang bergelut di bidang politik selain We Tenriolle adalah Megawati. Kedua berasal dari zaman yang berbeda. Megawati Soekarno adalah presiden wanita pertama di Indonesia. Sebagai putri Soekarno, Megawati bisa dibilang berada dibawah bayan-bayang ayahnya. Hal ini adalah modal utama, bagaimanapun Soekarno adalah orang berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia tidak akan melupakannya dan Mega adalah titisan yang menyimpan kharisma Soekarno untuk memimpin Indonesia.
Karier politiknya begitu berliku karena tekanan dari rezim orde baru. Sosok yang begitu pendiam ini mulai menapaki politik bersama Partai Demokrasi Indonesia, dimana pengaruh ayahnya begitu kuat dalam partai ini. Partai ini juga terbilang berani bersebrangan dengan penguasa sebelum Reformasi bergulir. Tekanan rezim orde baru tidak mematikan karir Megawati. Dukungan atas dirinya terus mengalir hingga orde baru ditumbangkan oleh Reformasi.

Pemilu 1999, memang mampu menaikan Megawati dan partainya sebagai pemeneng besar dalam Pemilu. Dalam pemilu orde baru, PDI selalu dikalahkan oleh partai dukungan penguasa. Meski Megawati menang dalam pemilu, namun posisi Presiden kala itu diposisikan pada Gus Dur. Megawati baru naik menjadi Presiden setelah Gus Dur turun dari jabatan itu setelah sebuah Sidang Istimewa. Megawati pun tidak lama menjadi Presiden, tidak sampai lima tahun. Pemilu tahun 2004 tidak lagi menunjuk Megawati sebagai pimpinan Republik Indonesia. Tapi sejarah menabalkannya sebagai Ibu Presiden Indonesia yang pertama.

Ada juga wanita yang tidak menjadi penguasa namun begitu berpengaruh dalam kekuasaan. Wanita adalah pendamping suaminya yang menjadi penguasa. Tien Soeharto adalah Ibu Negara paling utuh. Hal ini sangat memungkinkan karena Soeharto hanya memiliki Tien sebagai istrinya. Berbeda jauh dengan Soekarno yang memiliki banyak istri. Orang Indonesia mungkin akan bingung menjawab siapa yang menjadi Ibu Negara di masa Orde Lama. Tien tetap harus diposisikan sebagai Ibu Negara paling utuh pertama dalam sejarah adanya Ibu Negara Republik ini. Ia adalah ibu pembangunan bagi Indonesia.

Para tokoh disini digambarkan semanusiawi mungkin dalam kacamata kami, sejarawan muda. Harus disadari bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya putih maupun sepenuhnya hitam dalam sejarah manusia. Dunia ini hanya memiliki manusia yang abu-abu. Setiap manusia menyimpan sisi hitam dan putihnya sendiri-sendiri. Begitu pun para tokoh tadi, mereka juga punya sikap yang mungkin menurut kita tidak berkenan. Namun mereka juga memiliki sifat yang kita teladani. Tidak semua buah rasanya manis, begitupun sejarah. Tidak ada sejarah yang hanya memiliki sisi indah saja, sisi kelam pun dimiliki sejarah. Sejarah yang hanya menyajikan keindahan saja sungguh tidaklah manusiawi. Penilaian baik yang berlebihan dalam sebuah historiografi akan menimbulkan kesan pembodohan dan tidak jujur dimata orang-orang kritis. (Petrik Metanasi, editor)




TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)
[baca]

7 Bapak Bangsa


Penulis: Iswara N Raditya, dkk
Penerbit: RahZenbook
Tebal: 602 halaman
Harga: Rp 150.000
NOTE: Hanya edisi terbatas HARDCOVER dan dilayani jika ada pesanan.


Buku ini membincangkan tentang bapak dan kebangsaan nasional. Mengulik ihwal peran para Bapak Bangsa--dengan spesialisasi mereka masing-masing--dalam menggagas, membentuk, serta membangun Indonesia. Kesadaran berbangsa mulai timbul justru ketika asa kerap terkikis manakala peperangan demi peperangan yang dilakoni para pemimpin lokal tiada membuahkan gemilang. Kolonialis Belanda selalu unggul di segala sektor. Tidaklah mengherankan, para pejuang lokal nyaris selalu lebur di setiap titik tempur.

Berakhirnya abad ke-19 berarti pula mempersiapkan gaya juang model baru. Tak lagi dengan baku hantam dan adu pukul yang tak terwadahi dalam kesatuan, melainkan dengan bersenjatakan otak, pena, juga menghimpun aksi massal. Gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti suratkabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan Bumiputera pada awal abad ke-20.

Para pembebas yang kelak mewujud sebagai para Bapak Bangsa Indonesia mulai bermunculan. Mereka akan buat sadar bahwa bangsa ini bukan bangsa terperintah, bukan bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa, bukan inlander goblok yang hanya pantas untuk diludahi, juga bukanlah penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk memakai sarung dan ikat kepala, merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan-majikan kolonial.

Tujuh "Bapak Bangsa" yang disajikan dalam buku ini, seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, Soedirman, Soeharto, Soekarno, Tirto Adhi Soerjo, dan Tjokroaminoto.

Sebagai Sang Pemula, tampillah Tirto Adhi Soerjo (1880-1918). Dialah Bumiputera yang pertama-tama menyuluh dan membela rakyat melalui kuasa media massa. Pada 1903, Tirto menerbitkan Soenda Berita. Inilah suratkabar orang Indonesia pertama yang dimodali, dikelola, serta diisi tenaga-tenaga Bumiputera sendiri. Tirto, Raden Mas dari Blora, kembali menerjang pada 1907 dengan meluncurkan Medan Prijaji yang menjadi suratkabar advokasi rakyat yang, untuk pertamakalinya di Indonesia, memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada rakyat tertindas. Medan Prijaji benar-benar sudah menjadi medan berkelahi. Tirto adalah Bapak Pers Indonesia.

Sebagai penerus setelah Tirto Adhi Soerjo “dipensiunkan” dari medan pergerakan, nama Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) melejit, awal 1913. Dia penggerak massa terbesar dan teroganisir pertama, karena di kurun sebelumnya belum pernah ada organisasi yang memiliki massa sebesar Sarekat Islam (SI) pada era Tjokroaminoto memimpin, juga dalam metode perjuangannya yang modern. Memadukan Islam dan politik, Tjokroaminoto menjulang sebagai “Raja Jawa yang Tidak Pernah Dinobatkan”, demikian Belanda menyebutnya. Karena kuatnya pengaruh Tjokroaminoto dalam memobilisasi massa di bawah SI, dia juga dikenal dengan julukan “Gatotkoco Sarekat Islam.” Tjokro adalah Bapak Pergerakan Islam Indonesia.


Ketika Tjokroaminoto sedang memulai masa-masa jayanya, terdapatlah seorang pangeran dari Kraton Pakualaman yang membikin geger dunia kolonial. Beringsut dari Jogjakarta ke Bandung, Soewardi Soerjaningrat (1889-1959) menabalkan dirinya sebagai Bumiputera paling pemberani, menggebrak pemerintah dengan tulisan legendarisnya berjudul “Als ik eens Nederlander Was” atau “Seandainya Saya Seorang Belanda”. Soewardi mengecam perayaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Prancis yang dirayakan di Indonesia, yang justru masih dijajah Belanda.

Akibat keberanian itu, Soewardi kemudian dibuang ke Belanda sejak 1913, dan baru kembali ke tanah air pada 1919. Sempat bergabung kembali dengan kerasnya dunia pergerakan--dan sempat pula dipenjara--garis juang Soewardi mendadak beralih jalur demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia tak lagi radikal, lebih bijaksana, dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Beberapa tahun kemudian, 28 Februari 1928, Soewardi Soerjaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara yang berarti “Guru Perantara Dewa”. Sejak itu pula, predikat sebagai “Bapak Pendidikan Nasional” mulai meresap ke nama besarnya.

Berlanjut ke dwitunggal Soekarno-Hatta. Keduanya berjalan di masa yang seiring, setingkat di bawah era Tjokroaminoto dan Ki Hadjar Dewantara. Soekarno-Hatta seringkali padu namun tak jarang pula bertolak belakang. Bahkan Soekarno pernah menyatakan Hatta sebagai “musuh” alamiahnya. Hatta pun sempat menyebut Soekarno sebagai “seorang diktator yang mengagungkan dirinya sendiri dan lupa daratan.”

Soekarno (1901-1970) mulai bersinar benderang memasuki dekade 1920-an, berlanjut dengan pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927. Bersama PNI, lelaki kelahiran Blitar itu bergerak berani, mencemaskan pemerintah kolonial. Sampai akhirnya--setelah beberapa kali dibui--Soekarno dihukum buang. Manifesto politiknya, “Indonesia Menggugat”, yang disampaikan di hadapan majelis hakim di pengadilan negeri Bandung, menjadi pembelaan dirinya sebelum akhirnya dia dibuang ke Flores, kemudian dipindah ke Bengkulu, sampai kedatangan tentara Jepang tahun 1942.

Sedangkan Mohammad Hatta (1902-1980), si putera Minang kelahiran Bukitinggi, Sumatera Barat, mulai aktif di pergerakan nasional dengan meretas karir sebagai bendahara berbagai perhimpunan, dari Jong Sumatranen Bond (JSB) di Padang dan Batavia, lalu ketika Hatta belajar ekonomi di Indische Vereeniging (IV), organisasi pelajar Indonesia di Belanda –kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI)– yang kemudian dipimpinnya. Sama seperti Soekarno, pergerakan Hatta membuatnya ditangkap pemerintah Belanda pada 23 September 1927. Hatta pun melancarkan pledoi politiknya yang berjudul “Indonesie Vrij” atau “Indonesia Merdeka”.

Setelah 10 tahun lebih 10 bulan Hatta hidup di Belanda, ia akhirnya berangkat pulang ke tanah air pada 20 Juli 1932, dengan menggondol titel Doktorandus dari Nederlandsch Handelshogeschool te Rotterdam (Sekolah Tinggi Dagang Rotterdam). Dengan kemampuan mumpuni inilah, terutama ihwal ekonomi-koperasi, Hatta tak pelak didaulat sebagai “Bapak Ekonomi Indonesia”.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Soekarno-Hatta akur kembali. Bahkan ketika Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, dwitunggal inilah yang menjadi proklamatornya, atas nama bangsa Indonesia, dan berlanjut dengan terpilihnya kedua tokoh itu sebagai presiden dan wakil presiden RI yang pertama. Namun kemesraan itu tak langgeng. Lagi-lagi karena perbedaan pandangan politik, dwitunggal bercerai. Hatta mengundurkan diri dari jabatan wapres tanggal 1 Desember 1956, setelah sempat membuat prestasi paling gemilang dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-29 Oktober 1949, yang menghasilkan penyerahan kekuasaan penuh dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia.

Soekarno akhirnya melenggang sendirian. Meneruskan Revolusi Indonesia –yang dianggapnya belum selesai– di bawah kendalinya sebagai “Pemimpin Besar Revolusi”. Keteguhan dan ketunggalan itu pula yang mengantarkan sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu sebagai pemimpin tertinggi, sebagai “Bapak Revolusi Indonesia”, hingga akhirnya Soekarno terpaksa hanya bisa gigit jari melihat sepakterjang seorang anak desa, Soeharto, yang di kemudian hari menggantikannya duduk di singgasana RI.

Sebelum membahas apa dan siapa si anak desa yang mujur itu, penggalan sejarah Indonesia pascakemerdekaan mau tak mau harus terlebih dulu menolehkan pandangan kepada seorang anak desa lainnya, Soedirman namanya. Soedirman (1916-1950), kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, di masa remajanya aktif menempa diri di kawah pergerakan melalui organisasi kepanduan Hisbul Wathon (HW) dan Muhammadiyah. Sempat menjadi pengajar di guru di sekolah menengah Muhammadiyah Cilacap, Soedirman nyatanya malah menjadi besar lewat kerasnya dunia militer. Dia bergabung dengan kesatuan Pembela Tanah Air (PETA), bentukan Jepang, pada 1943.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Soedirman kembali menekuni ranah tentara dan dipercaya sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) wilayah Banyumas. Prestasi yang paling menentukan arah kehidupan Soedirman selanjutnya adalah keberhasilannya memukul mundur pasukan Belanda pada Desember 1945 dalam peristiwa Palagan Ambarawa, sebagai upaya mempertahankan kedaulatan RI. Atas prestasi itu, Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, angkatan perang RI yang pada akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah penentang jalur diplomasi dengan Belanda yang dilakoni para pemimpin negara RI. Dengan kondisi tubuh yang sakit parah, Soedirman tetap memimpin perang gerilya hingga akhirnya Soekarno memintanya menghentikan pertempuran dengan disepakatinya penyerahan kedaulatan secara penuh dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia pada 1949. “Bapak Tentara Nasional Indonesia” Soedirman wafat dalam usia muda karena sakit yang dideritanya, namun namanya tetap menjadi yang terdepan dalam sejarah ketentaraan Indonesia.

Si anak desa dari Kemusuk, Jogjakarta, Soeharto (1921-2008) muncul sebagai pahlawan di saat kondisi negara sedang labil. Insiden Gerakan 30 September 1965--dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat (AD) sebagai aktor utamanya--yang memakan korban para perwira tertinggi AD, menjadikan impian Soeharto untuk menggapai langit-langit kepemimpinan militer terwujud. Ia segera diangkat menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi keamanan dalam negeri. Lembar sakti SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) kian memperlancar urusan, bahkan terbuka peluang untuk merajai puncak kuasa pemerintahan, militer dan sipil.

Keraguan Soekarno dalam menyikapi kondisi perpolitikan, dengan masih getol mempertahankan sosialisme sebagai rangkaian tak terpisahkan dari konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), membikin Soeharto dengan mudah mampu menguasai media, massa, dan mahasiswa. Akhirnya Soekarno terguling juga, dan arus politik mengantarkan Soeharto menduduki tahta sebagai Presiden RI ke-2. Jenderal Soeharto resmi dilantik pada 27 Maret 1968. Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia berkonsentrasi pada peningkatan ekonomi dan pembangunan. Swasembada pangan yang berhasil dicapai pada 1985 melejitkan namanya sebagai salahseorang kepala negara berkembang yang paling sukses. Sederet program yang ditawarkan dan dijalankannya, mulai dari Repelita, Keluarga Berencana, transmigrasi, pemerataan pembangunan, dan lainnya, kian memperkokoh Soeharto sebagai pemimpin besar berjuluk “Bapak Pembangunan Indonesia”. Terlepas dari segala kontroversi dan intrik yang senantiasa mengikuti Soeharto sejak lengser keprabon hingga pungkasan nafasnya, peran besar sang jenderal dalam membangun Indonesia tetap tak terbantahkan, bahkan dunia pun mengakuinya.




TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)

[baca]

Selasa, 05 Februari 2008

Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia

Penulis: Taufik Rahzen, Muhidin M Dahlan, Agung Dwi Hartanto, Rhoma Dwi Yuliantri, Iswara N Raditya, dkk
Penerbit: I:BOEKOE (2007)
Tebal: 456 halaman
Harga: 75.000
Jenis: Tokoh Pers


Jejak pers Indonesia bisa dibaca sebagai jalan panjang ikhtiar merumahkan bahasa Indonesia, yang kelak membangun ikatan tanah dan air untuk memelihara kesadaran berbangsa. Jalan panjang ini telah dan akan melahirkan ribuan koran beserta tokohnya masing-masing.

Tokoh-tokoh yang terhimpun dalam buku ini menunjuk pada semangat jalan pers kita dan upaya para pengelolanya yang bekerja sepenuh jiwa dalam mengartikulasikan dan memberi sumbangan kepada bahasa Indonesia dan tanah air dalam upaya membangun citra untuk apa dan dalam posisi apa nasionalisme dibangun dari kurun ke kurun. Ini adalah rekam jejak upaya-upaya manusia Indonesia, dalam hal ini mereka yang berada di jalur pers dan jurnalisme. Mereka ingin membangun, memelihara, memberi citra, menaklukkan, sekaligus memberi penghuni pada bahasa Indonesia. (Taufik Rahzen)


Minggu, 6 April 2008 | 00:19 WIB
Kiprah 100 Tokoh Pers Nasional

Tirto Adhi Soerjo memulai karyanya sebagai jurnalis saat berusia 22 tahun lewat surat kabar Pembrita Betawi. Setahun kemudian Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita, selanjutnya Medan Prijaji pada 1907. Kehadiran Medan Prijaji membuat khalayak mempunyai sarana berkeluh kesah lewat media surat kabar. Meskipun mendapatkan tekanan pemerintah kolonial, Tirto melaju dengan menerbitkan pula Soeloeh Keadilan dan Poetri Hindia. Tak berlebihan apabila Tirto disebut sebagai "pengguncang Bumiputera dari bangun tidurnya’ oleh sang murid, Marco Kartodikromo.

Aktivitas jurnalis Siti Roehana Koedoes juga menarik untuk disimak. Perempuan ini hampir terlupakan, padahal dia berperan menghadirkan surat kabar khusus perempuan pada tahun 1912 lewat Soenting Melajoe. Kiprahnya dilatari keinginan mencerahkan perempuan Indonesia lewat kegiatan membaca surat kabar. Wanita kelahiran Kota Gadang ini menggoyahkan peraturan adat yang mapan kala itu melalui tulisan-tulisan yang menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Meski bukan surat kabar khusus perempuan pertama, Soenting Melajoe berbeda dengan pendahulunya seperti Poetri Hindia. Soenting Melajoe hadir atas inisiatif perempuan yang memaknai aktivitas membaca surat kabar layaknya meminum air laut.

Kisah ini terangkum dalam publikasi yang diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Pers Indonesia dan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia yang bertepatan dengan hari penguburan Tirto Adhi Soerjo. Di antara 100 tokoh yang dipilih terdapat nama Dja Endar Moeda, Douwes Dekker, Sutan Takdir Alisjahbana, SK Trimurti, Rosihan Anwar, Petrus Kanisius Ojong, Goenawan Muhammad, Dahlan Iskan, Seno Gumira Ajidarma, Maria Hartiningsih, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), hingga Bondan Winarno. Publikasi ini tidak bertujuan membuat pemeringkatan tokoh, namun berupaya menunjukkan perjuangan mereka mengawal bahasa Indonesia sesuai gaya dan karakteristik penulisan masing-masing. (SHS/Litbang Kompas)

Tiga Pendekar Pers Kalsel
Selasa, 12-02-2008 | 01:20:24

“Hanya Pers yang menjadi palang pintu terakhir sebagai wahana rakyat untuk berwacana dan menyampaikan pendapat bahkan kontrol sosial dan bila perlu terhadap pemerintah atau dunia usaha.”

Kalimat itu meluncur dari mulut almarhum Huzai Junus Djok Mentaya, salah seorang pendiri harian Banjarmasin Post, menyikapi gerak pers yang kerap terbelenggu aturan penguasa.

Djok Mentaya tidak sendirian dalam membangun Banjarmasin Post. Dua tokoh lainnya, HG Rusdi Effendi AR dan Yustan Azzidin (alm) turut membantu harian tertua di Kalimantan ini hingga sebesar sekarang.

Peran tiga tokoh pers di Kalimantan Selatan ini terekam dalam sebuah buku berjudul Tanah Air Bahasa, memuat Seratus jejak Pers Indonesia (Tokoh-tokoh pers tanah air).

Buku setebal 460 halaman terbitan Indonesia Buku (I:boekoe) disusun Taufik Rahzen, et.al ini dipersembahkan secara khusus untuk memperingati hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) ke- 62.

Pada buku ini, HJ Djok Mentaya, HG Rusdi Effendi Ar dan Yustan Aziddin sebagai tiga pendekar. Kombinasi tiga dedengkot pers Kalsel itu menghasilkan kombinasi kerja yang ideal. Banjarmasin Post adalah penggabungan dari militansi seorang Djok Mentaya, inspirasi jenius Yustan Aziddin dan kemampuan manajerial yang mumpuni HG Rusdi Effendi AR.

Tiga serangkai tokoh pers banua ini disandingkan dengan tokoh-tokoh pers nasional seperti pendiri Kompas Gramedia, Yacob Oetama, CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan, Dawam Raharjo, Goenawan Muhammad bahkan tokoh pers masa penjajahan Belanda macam dr Wahidin Sudirihusodo dan KH Ahmad Dahlan. (Banjarmasin Post, 12 Februari 2008)


TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA)

[baca]

Jangan Menangis Ibu! Kisah Nyata 16 Perempuan

Penulis: Ayu Arman
Penerbit: I:BOEKOE (2007)
Tebal: 200 halaman
Ukuran: 12 x 19 cm
Harga: Rp 35.500
Jenis Buku: Kisah Nyata, Perempuan


“Menangis karena menghadapi ujian dan musibah yang berat adalah fitrah manusia. Menangis karena berbuat dosa adalah karunia. Menangis karena marah kepada perbuatan Allah adalah petaka. Jangan Menangis, Ibu!, sebuah tulisan yang dikemas dengan menarik dan menyentuh hati. Buku ini bisa menjadi referensi para pembaca untuk merenungkan arti kehidupan.” (Ummu Ghaida Muthmainnah/Teh Ninih)

Enam belas perempuan dalam buku ini adalah enam belas kisah tentang kekerasan yang mengambil bentuk yang berbeda-beda. Kisah mereka adalah kisah tentang keteguhan pikir dan kejernihan jiwa menunggang kesedihan yang kerap tak tertanggungkan. Mereka geluti kekerasan dan kesedihan itu seinci demi seinci. Tapi mereka tak lantas putus asa. Sebab dari keteguhan dan kesabaran yang membara itu selalu ada jalan keluar. Sekecil apa pun itu.

TERTARIK? HUB NO. 0888-692-6884 (MBAK NURUL HIDAYAH) atau email: iboekoe@gmail.com. RABAT HINGGA 30% SETIAP PEMBELIAN. BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM (DILUAR JOGJA&JAWA) [baca]